Antara Cinta dan Ratapan ~ Dalam perang Uhud Nabi Muhammad SAW telah mengatur taktik dan strategi jitu. Delapan puluh pemanah ditempatkan pada bukit yang strategis, yang di atasnya tentara Islam terbukti dapat membikin kalang kabut dan kocar-kacir tentara Quraisy. Mereka berlarian cerai-berai, meninggalkan banyak harta di belakangnya. Dalam situasi ini sebagian pasukan panah tergoda, turun dari posisinya, turun berebut rampasan harta perang. Mereka telah menyalahi peraturan Nabi Muhammad SAW untuk tak sekalipun meninggalkan posisi. Alhasil, tentara Quraisy mengambil alih lokasi yang strategis tadi, dan ganti mengobrak-abrik tentara yang dipimpin Nabi Muhammad SAW. Banyak serdadu Islam mati, termasuk Hamzah, paman Rasulullah. Bahkan, Rasulullah sempat diisukan syahid dalam perang ini.
Setelah perang usai, banyak anak menjadi yatim, dan banyak wanita menjadi janda. Mereka meratap, gulung koming. Hanya satu dua yang tabah hati, termasuk seorang wanita suku bani Dinar. Dia memang bersedih, air mata mengalir di pipinya, namun tak meratap seperti yang lainnya.
Ketika pasukan Islam pulang perang dia menanyakan kondisi Nabi Muhammad SAW. Semua yang ditanya menjawab, "Alhamdulillah, beliau dalam keadaan baik-baik saja," sambil tangan menunjuk ke arah Nabi Muhammad SAW. Demi melihat Rasulullah selamat, sehat wal afiat, wanita itu kontak melupakan musibah berat akibat ditinggal mati karib kerabat, "Wahai Nabi Allah. Segala kesulitan dan kesusahan menjadi mudah di jalan Anda." Terlihat, betapa malapetaka dianggap tak berarti apa-apa, karena manusia sanjungannya terselamatkan dari petaka. Itulah wujud kecintaan mereka kepada Nabi Muhammad SAW. Cinta di atas segalanya, di atas cintanya kepada diri dan keluarganya, di atas cintanya kepada kekayaan dan harta, kecuali tingkatan cinta kepada Tuhan Pencipta Alam Semesta.
Hikmah dari Kisah Di Atas
Cinta kepada keluarga (termasuk harta dan tahta) adalah sesuatu yang manusiawi. Oleh karenanya, ketika sesuatu yang dimiliki meninggalkannya, diambil oleh Yang Punya perasaan sedih pasti akan menggelayuti. Bahkan, Nabi Muhammad SAW sendiri ketika ditinggal mati putra yang dicintai, Ibrahim, sebagai manusia Rasulullah juga memperlihatkan kesediannya. Rasa sedih akibat ditinggal pergi oleh orang yang dicintai memang manusiawi, sebab cinta kepada keturunan memang merupakan perwujudan rohani yang paling murni dan jujur.
Kala itu Nabi Muhammad SAW berkata duka, "Ibrahim putraku, aku tak dapat berbuat apa pun untukmu. Kehendak Ilahi tak mungkin diubah. Ayahandamu bergelimang air mata, dan hati bapakmy sedih dan pilu atas kematianmu. Namun, aku tak akan mengucapkan sesuatu yang dapat menimbulkan murka Allah. Seandainya Allah tak menjanjikan bahwa kami pun akan menyusulmu, niscaya aku akan menangis lebih banyak dan akan lebih sedih karena berpisah denganmu."
Itulah kesedihan Nabi Muhammad SAW, seorang Rasul yang mempunyai sifat-sifat manuasiawi. Namun, Rasulullah tak meratap apalagi menyalahkan Tuhan. Beliau sangat tahu bahwa sedih berkelebihan dapat menimbulkan murka Tuhan, karena ratapan hampir sama dengan menegasi (menentang) kodrat dan irodat Tuhan. Oleh karena itu, Rasulullah telah menegur (dan melarangO para wanita yang meratap akibat suami gugur dalam perang Uhud. Rasulullah mengingatkan, "Aku tak pernah melarang kalian menangisi kematian orang-orang yang kalian cintai. Karena tangisan itu justru merupakan tanda keramahan dan belas kasih. Orang yang hatinya tak terharu untuk orang lain, dia tak berhak mendapat belas kasih Allah. Yang telah aku katakan adalah Anda sekalian tak boleh meratap berlebih-lebihan atas kematian orang yang kalian cintai, tak boleh mengucapkan kata-kata yang tak pantas, dan tak boleh merobek-robek baju akibat sedih."
Kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW seperti diperlihatkan seorang wanita bani Dinar tadi merupakan sesuatu yang patut diteladani. Kecintaan dia kepada Rasulullah di atas segala, kecuali kepada Sang Pencipta: Allah SWT. Khusus kepada Allah (Khaliq) memang berlaku hukum "Asyaddu hubban lillah, amat sangat cinta, ngebet, kesengsem (terpikat), dan trisno (kasih) tiada banding kepada Allah". Namun, khusus kecintaan manusia kepada alam semesta (makhluk), Nabi Muhammad SAW menempati posisi tertinggi, bahkan di atas suami istri, anak, dan segala kekayaan yang dimiliki.
Kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW menempati posisi tertinggi adalah sesuatu yang pantas, mengingat Tuhan sendiri juga sangat mencintai manusia luhur ini. Sebagai lambang kecintaan dan penghormatan, Allah tak pernah menyebut Nabi Muhammad SAW dengan kata-kata "Wahai Muhammad", tetapi diganti dengan ucapan sayang: "Wahai Nabi, waha Rasul, wahai orang yang berselimut" dan seterusnya. Ingatkah pada kalimat dalam tahiyat Shalat: "Assalamu 'alaika ayyuhan nabiyyu warohmatullahi wa barookaatuh: semoga keselamatan, rahmat Allah dan berkah-Nya terlimpah atas diri engkau wahai Nabi." Itulah salam Allah menyambut kedatangan Rasulullah ketika Isra' dan Mi'raj.
Allah bahkan mengingatkan seperti terlukis dalam Al Quran, "Innallaaha wamalaaikatahu yusholluuna 'alan nabi. Yaa ayyuhallladziina aamanuu sholluu 'alaihi wasallimuu tasliimaa: Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bersholawat (mendoakan) atas diri Nabi. Wahai orang-orang yang beriman bersholawatlah kamu atas beliau, dan mohonkan keselamatan dengan benar-benar keselamatan." Itulah tanda betapa Allah mencintai Nabi-Nya. Oleh karena itu, bagaimana mungkin, kita petantang-petenteng (sombong) tak mau mencintai dan bersholawat atas diri Nabi Muhammad SAW. "Sebakhil-bakhil manusia adalah yang tak mau bersholawat terhadapku", itulah peringatan dari Nabi Muhammad SAW. Bila kita bakhil kepadanya, pantaskah kita mengharapkan syafa'at darinya?
Kala itu Nabi Muhammad SAW berkata duka, "Ibrahim putraku, aku tak dapat berbuat apa pun untukmu. Kehendak Ilahi tak mungkin diubah. Ayahandamu bergelimang air mata, dan hati bapakmy sedih dan pilu atas kematianmu. Namun, aku tak akan mengucapkan sesuatu yang dapat menimbulkan murka Allah. Seandainya Allah tak menjanjikan bahwa kami pun akan menyusulmu, niscaya aku akan menangis lebih banyak dan akan lebih sedih karena berpisah denganmu."
Itulah kesedihan Nabi Muhammad SAW, seorang Rasul yang mempunyai sifat-sifat manuasiawi. Namun, Rasulullah tak meratap apalagi menyalahkan Tuhan. Beliau sangat tahu bahwa sedih berkelebihan dapat menimbulkan murka Tuhan, karena ratapan hampir sama dengan menegasi (menentang) kodrat dan irodat Tuhan. Oleh karena itu, Rasulullah telah menegur (dan melarangO para wanita yang meratap akibat suami gugur dalam perang Uhud. Rasulullah mengingatkan, "Aku tak pernah melarang kalian menangisi kematian orang-orang yang kalian cintai. Karena tangisan itu justru merupakan tanda keramahan dan belas kasih. Orang yang hatinya tak terharu untuk orang lain, dia tak berhak mendapat belas kasih Allah. Yang telah aku katakan adalah Anda sekalian tak boleh meratap berlebih-lebihan atas kematian orang yang kalian cintai, tak boleh mengucapkan kata-kata yang tak pantas, dan tak boleh merobek-robek baju akibat sedih."
Kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW seperti diperlihatkan seorang wanita bani Dinar tadi merupakan sesuatu yang patut diteladani. Kecintaan dia kepada Rasulullah di atas segala, kecuali kepada Sang Pencipta: Allah SWT. Khusus kepada Allah (Khaliq) memang berlaku hukum "Asyaddu hubban lillah, amat sangat cinta, ngebet, kesengsem (terpikat), dan trisno (kasih) tiada banding kepada Allah". Namun, khusus kecintaan manusia kepada alam semesta (makhluk), Nabi Muhammad SAW menempati posisi tertinggi, bahkan di atas suami istri, anak, dan segala kekayaan yang dimiliki.
Kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW menempati posisi tertinggi adalah sesuatu yang pantas, mengingat Tuhan sendiri juga sangat mencintai manusia luhur ini. Sebagai lambang kecintaan dan penghormatan, Allah tak pernah menyebut Nabi Muhammad SAW dengan kata-kata "Wahai Muhammad", tetapi diganti dengan ucapan sayang: "Wahai Nabi, waha Rasul, wahai orang yang berselimut" dan seterusnya. Ingatkah pada kalimat dalam tahiyat Shalat: "Assalamu 'alaika ayyuhan nabiyyu warohmatullahi wa barookaatuh: semoga keselamatan, rahmat Allah dan berkah-Nya terlimpah atas diri engkau wahai Nabi." Itulah salam Allah menyambut kedatangan Rasulullah ketika Isra' dan Mi'raj.
Allah bahkan mengingatkan seperti terlukis dalam Al Quran, "Innallaaha wamalaaikatahu yusholluuna 'alan nabi. Yaa ayyuhallladziina aamanuu sholluu 'alaihi wasallimuu tasliimaa: Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bersholawat (mendoakan) atas diri Nabi. Wahai orang-orang yang beriman bersholawatlah kamu atas beliau, dan mohonkan keselamatan dengan benar-benar keselamatan." Itulah tanda betapa Allah mencintai Nabi-Nya. Oleh karena itu, bagaimana mungkin, kita petantang-petenteng (sombong) tak mau mencintai dan bersholawat atas diri Nabi Muhammad SAW. "Sebakhil-bakhil manusia adalah yang tak mau bersholawat terhadapku", itulah peringatan dari Nabi Muhammad SAW. Bila kita bakhil kepadanya, pantaskah kita mengharapkan syafa'at darinya?
No comments:
Post a Comment