Ibnu Athaillah mengatakan, "Ada yang berkata, 'Bersikaplah kepada Allah seperti anak kecil kepada ibunya. Setiap kali ditolak sang ibu, ia tetap bersimpuh di hadapannya karena tidak mengenal selainnya.'"
--Ibnu Atha'illah dalam Taj Al-'Arus
Sikap semacam ini sama dengan tingkatan tawakal kepada Allah, yaitu ketika seorang hamba bersikap kepada Allah seperti anak kecil kepada ibunya.
Ia tidak mengenal orang lain selain ibunya sehingga ia tidak meminta pertolongan kecuali darinya, serta tidak bersandar kecuali kepadanya. Ketika melihat sang ibu, ia akan terus membuntutinya. Ketika mendapat kesulitan di saat ibunya tidak ada, kata pertama yang diucapkan lisannya adalah "Ibu!" Dan yang terlintas pertama kali dalam benaknya adalah sosok ibunya. Hanya kepada ibunyalah ia mengadu. Si anak sangat meyakini pemeliharaan, perlindungan, jaminan, dan kasih sayang ibunya.
Ia tidak mengenal orang lain selain ibunya sehingga ia tidak meminta pertolongan kecuali darinya, serta tidak bersandar kecuali kepadanya. Ketika melihat sang ibu, ia akan terus membuntutinya. Ketika mendapat kesulitan di saat ibunya tidak ada, kata pertama yang diucapkan lisannya adalah "Ibu!" Dan yang terlintas pertama kali dalam benaknya adalah sosok ibunya. Hanya kepada ibunyalah ia mengadu. Si anak sangat meyakini pemeliharaan, perlindungan, jaminan, dan kasih sayang ibunya.
Jika anak kecil itu diminta menjelaskan sikapnya yang terikat kepada ibunya, ia mampu untuk menuturkannya. Namun, sikap dan perilakunya itu berada dalam kesadaran dan pengetahuannya. Sama halnya, pikiran orang yang bertawakal kepada Allah akan selalu tertuju kepada-Nya. Ia juga akan selalu mencari dan mendekati-Nya, kemudian bersandar dan meminta pertolongan hanya kepada-Nya.
Ia pasti mencintai Allah sebagaimana anak kecil mencintai ibunya. Itulah pengertian dan hakikat tawakal. Seorang hamba semestinya bertawakal kepada Allah sebagaimana seorang anak kecil tawakal kepada ibunya. (Al-Ghazali, Ihya' 'Ulum Al-Din).
No comments:
Post a Comment