Kisah Sedekah Dengan Singkong Berbuah Haji ~ Hanya sedekah singkong kepada anak yatim, berbuah haji dua puluh empat tahun kemudian. Bagaimana kisahnya?
Janganlah kita anggap sepele sebuah kebaikan itu. Meski kecil dan tidak berarti, bisa jadi bagi yang lain sangat berarti. Bagi kita hanyalah sebuah sampah, bagi orang lain yang membutuhkan bisa jadi sebuah permata.
Kisah berikut ini menunjukkan kepada kita betapa kebaikan yang ikhlas, meski sangat kecil, ternyata dicatat Allah dan dibalas-Nya dengan anugerah yang besar. Rasanya tak mungkin, tapi semua itu nyata terjadi. Kita pun hanya bisa mengagumi kebesaran-Nya untuk itu.
Sebut saja namanya Sutikno. Ia seorang pedagang gorengan di Jakarta. Sebagai pedagang gorengan, kita bisa tebak sendiri berapa penghasilannya. Kalaupun jualannya habis, tetap tidak akan membuatnya bisa membeli mobil, rumah, apalagi apartemen. Kecuali ia memang bisa menabung penghasilannya (berhemat) dan bertahun-tahun baru bisa mengumpulkannya. Kalaupun itu bisa terjadi, mungkin hanya satu dari sekian ratus orang yang bisa melakukannya.
Meski penghasilannya kecil, bagi Sutikno, tetap itu merupakan profesinya dan harus dijalaninya dengan penuh ikhlas dan sabar. Sebab, tidak mudah bisa bertahan hidup di perkotaan yang sangat ganas dengan gaya dan pola hidupnya. Tak pandai berusaha, bisa-bisa ia jadi gelandangan atau menjadi pengemis. Sutikno tentu tidak ingin seperti itu. Maka, menjadi pedagang gorengan pun menjadi alternatif terbaik baginya saat itu, yaitu tahun 1980-an.
Suatu saat Sutikno melihat seorang bocah laki-laki lalu lalang di depan gerobaknya dengan pakaian lusuh. Wajahnya sedih dan memelas, seolah ia berharap sesuatu dari Sutikno. Tapi, Sutikno belum ngeh (sadar). Ia hanya berpikir bahwa bocah itu sama dengan lelaki kecil lainnya yang seringkali ia lihat.’
Hingga ke empat hari berturut-turut, bocah itu seringkali terlihat lalu-lalang di depan gerobaknya dengan keadaan yang sama, pakaian lusuh dan wajah memelas. Hal ini pun mengundang tanda tanya Sutikno dan menggelitik sanubarinya.
Bocah yang dari jauh hanya memandangi gerobak Sutikno penuh harap itu pun dipanggilnya. Hari itu Sutikno sengaja menyisakan sepotong singkong goreng butut yang biasanya tak laku dijual. Melihat ada aba-aba dari sang pedagang gorengan, bocah itu pun segera berlari dan menghampiri gerobak Sutikno dan menyambar gorengan yang diberikannya sambil berucap “Terima Kasih, Bang.!” Matanya berbinar dan senyumnya terkembang.
Dua puluh empat tahun kemudian, Sutikno masih berjualan gorengan dan mangkal di tempat biasa. Hanya saja, ia kini telah berubah menjadi tua. Bagaimana dengan bocah itu? Entahlah, apakah ia masih hidup, menjadi gelandangan dan pengemis atau malah tumbuh menjadi orang yang sukses?
Yang jelas, suatu ketika Sutikno kedatangan seorang lelaki gagah di tempat jualannya. Lelaki itu datang dengan sebuah mobil mewah dan berhenti persis di depan gerobaknya. Usai membuka pintu mobilnya, lelaki itu segera turun dari mobil dan menghampiri Sutikno.
Lelaki itu tampaknya mengenal baik wajah Sutikno. Lain halnya dengan Sutikno, ia begitu asing dengan wajah lelaki gagah itu. Ketika ada mobil mewah berhenti dan lelaki gagah itu menghampirinya, ia pun berpikiran bahwa lelaki itu mungkin hendak membeli gorengannya, seperti lelaki lain pada umumnya.
“Pak, ada singkong butut?” tanya lelakin parlente itu. Betul saja, lelaki itu memang berniat ingin membeli gorengannya. Tetapi, kenapa ia menanyakan singkong buntut, padahal dengan penampilannya yang parlente seharusnya ia menjauhi makanan yang sudah seharusnya dibuang.
“Kagak ada, Mas! Singkong butut mah dibuang. Kenapa tidak beli yang lain saja? Nih, ada pisang sama singkong goreng,” ujar si pedagang gorengan itu.
“Saya kangen singkong bututnya Pak. Dulu bapak ‘kan yang pernah memberi saya singkong goreng butut. Dulu , ketika saya masih kecil, dan ayah saya baru saja wafat, tidak ada yang membiayai hidup saya. Teman-teman mengejek karena saya tidak bisa jajan. Selama empat hari saya berlalu-lalang di depan gerobak bapak ini, sampai bapak memanggil saya dan memberi sepotong singkong goreng butut yang langsung saya sambar. Saya masih ingat, Pak,” tuturnya.
Sutikno terperangah mendengar penjelasan pemuda itu. Segera ia memandangi wajahnya dan barulah ia ingat siapa lelaki yang ada di hadapannya. Dialah bocah yang dulu pernah meminta gorengan singkong buntut kepadanya. Dulu, ia begitu lusuh dan menderita. Tapi kini ia telah berubah menjadi orang yang sukses.
“Yang saya beri dulu kan Cuma singkong buntut. Kenapa kamu masih ingat sama saya?” tanya pedagang itu penasaran. “Bapak tidak sekedar memberi saya singkong butut, tapi juga kebahagiaan,” papar si pemuda itu.
Pemuda itu kemudian bercerita bahwa sesaat setelah menyambar singkong itu dia langsung memamerkan kepada temannya-temannya. Ia ingin membuktikan bahwa dia masih bisa jajan. Sesuatu yang dianggap remeh, tapi baginya itu membuatnya sangat bahagia, sehingga dia berjanji suatu saat akan membalas budi baik kepada pedagang gorengan itu.
“Saya mungkin tidak bisa membalas budi baik Bapak. Tapi, daya ingin memberangkatkan Bapak berhaji, semoga Bapak bahagia,” ujar si pemuda itu. Pedagang gorengan itu hampir-hampir tidak percaya. Dua puluh empat tahun silam ia telah membahagiakan seorang anak yatim. Maka Allah pun membalas amal shalehnya itu. Subhanallah!
Demikian sebuah kisah yang menakjubkan tentang keajaiban sedekah. Bagaimana mungkin hanya sepotong gorengan singkong yang sudah jelek tetapi diganti oleh sebuah haji yang bernilai puluhan juta rupiah, jika bukan karena kehendak Allah. Karena itu, janganlah menganggap sepele sebuah kebaikan, meski itu sekecil apapun. Sebab, bisa jadi, dari hal yang kecil itu, kalau dilakukan dengan penuh keikhlasan, maka Allah akan membalasnya dengan sesuatu yang jauh lebih besar seperti kisah Sutikno diatas.
Bukan hanya itu, ketika kita melihat orang lain bersedekah kecil (ringan), janganlah kita merendahkannya atau menyepelekannya. Sebab, bisa jadi, dari situlah sesungguhnya awal kesuksesannya akan dimulai. Semoga kita bisa belajar dari kisah ini! Amien.
No comments:
Post a Comment