Dahulu, di tanah Hijaz (sekarang: Arab Saudi), di era jahiliah, tersebutlah seorang penyair masyhur bernama 'Asya'. Kala itu Islam belum menyebar luas. Tapi citra diri nabi Muhammad SAW dan keindahan ajaran pekerti yang sempat tersebar ternyata mampu menggugah jiwa dan mempersona hati 'Asya'. Dia sebenarnya tinggal jauh dari Mekkah. Tapi jiwa halusnya sebagai seniman, ketika mendapat potongan-potongan informasi tentang ajaran Rasulullah SAW yang "bernilai seni tinggi dan mengandung ajaran budi tinggi" telah membuatnya yakin bahwa itu benar dari Ilahi. Tak mungkin, ayat-ayat itu dibuat oleh penyair ulung, termasuk oleh dirinya sendiri.
Kendati 'Asya' belum pernah bertemu Rasulullah, namun kekagumannya telah merangsang untuk membuat bait-bait syair pujaan atas diri dan pribadi beliau. Akhirnya, suatu hari, ia telah meneguhkan diri untuk menemui Rasulullah, ingin berikrar menjadi pengikut ajaran Ilahi. Tentu saja mata-mata Quraisy tak menghendaki ahli syair ini menjadi pengikut Nabi Muhammad SAW. Mereka lantas membuat rekayasa, melakukan pencermatan atas kepribadian dan kebiasaan 'Asya'. Alhasil, ketika 'Asya' dalam perjalanan untuk menemui Rasulullah, mata-mata Quraisy langsung menghadang. Di genggamannya telah terkumpul sejumlah "senjata" kelemahan 'Asya'.
Si Quraisy mengayunkan senjata "titik lemah" 'Asya' sendiri, "Wahai Abu Basir. Ketahuilah bahwa agama yang dibawa Muhammad sangat berlawanan dengan kondisi mental dan kebiasaanmu."
"Kepana begitu?" tanya 'Asya'.
Mereka menjawab, "Muhammad mengajarkan bahwa zina itu haram."
'Asya' langsung menukas tangkas, "Itu tak menjadi urusan denganku, sehingga tak menghalangi jalanku untuk memeluk Islam."
Si Quraisy lantas memanfaatkan "kelemahan" 'Asya' yang lain, "Ia juga melarang khamr (minuman keras)."
Mendengar informasi ini 'Asya', sebagai seniman pemabuk, langsung terlihat cemas, lantas menukas, "Saya belum kenyang dengan khamr. Oleh karena itu, sekarang saya akan pulang dan meminum khamr selama setahun dahulu. Tahun depan saya akan kembali dan memeluk Islam di hadapan Nabi Muhammad SAW."
'Asya' lantas pulang. Nmaun, pada tahun itu pula ia keburu mati, sebelum sempat menemui Rasulullah SAW. Ia telah menutup peluangnya sendiri untuk melakukan apa yang dikatakannya.
Si Quraisy mengayunkan senjata "titik lemah" 'Asya' sendiri, "Wahai Abu Basir. Ketahuilah bahwa agama yang dibawa Muhammad sangat berlawanan dengan kondisi mental dan kebiasaanmu."
"Kepana begitu?" tanya 'Asya'.
Mereka menjawab, "Muhammad mengajarkan bahwa zina itu haram."
'Asya' langsung menukas tangkas, "Itu tak menjadi urusan denganku, sehingga tak menghalangi jalanku untuk memeluk Islam."
Si Quraisy lantas memanfaatkan "kelemahan" 'Asya' yang lain, "Ia juga melarang khamr (minuman keras)."
Mendengar informasi ini 'Asya', sebagai seniman pemabuk, langsung terlihat cemas, lantas menukas, "Saya belum kenyang dengan khamr. Oleh karena itu, sekarang saya akan pulang dan meminum khamr selama setahun dahulu. Tahun depan saya akan kembali dan memeluk Islam di hadapan Nabi Muhammad SAW."
'Asya' lantas pulang. Nmaun, pada tahun itu pula ia keburu mati, sebelum sempat menemui Rasulullah SAW. Ia telah menutup peluangnya sendiri untuk melakukan apa yang dikatakannya.
Hikmah
Apa yang dilakukan 'Asya' merupakan penundaan terhadap sebuah niat kebajikan. Dalam perspektif Islam, setidaknya ada sisi negatig dari peristiwa ini, yakni: kebiasaan menunda sebuah pekerjaan yang sebenarnya dapat segera dilakukan (diselesaikan) adalah sebuah keburukan. Dalam konteks ini Imam Ali misalnya pernah menyatakan bahwa, "Al waqtu kasshaifi fainlam taqtho'hu fainnahu qotho'aka. Waktu itu ibarat pedang, apabila engkau tak segera memotongnya, maka ia akan dapat memotongmu." Pernyataan itu jelas sangat merefleksikan betapa pentingnya menghargai waktu, dan buruknya menunda-nunda pekerjaan. Waktu menempati posisi sedemikian penting dalam Islam, hal ini seperti terefleksi dari Sumpah Tuhan yang selalu menggunakan terminologi waktu, misalkan: Wal 'Ashri (Demi waktu Asar), Wal Laili (Demi waktu malam), Waddahuha (Demi waktu Dhuha) dan seterusnya.
Sekali lagi Islam mengajarkan untuk tak menunda pekerjaan. Allah menandaskan, "faidzaa telah fansob, wa ilaa robbika farghob, jika kau telah menyelesaikan satu pekerjaan, maka beralihkan pada pekerjaan lain, dan hanya kepada Tuhanmu engkau mohon ampun." Menunda, untuk berbuat kebajikan bukan saja rugi dalam perspektif waktu, melainkan rugi pula dalam hal keimanan. Apa yang dialami 'Asya' dapat disebut sebagai kerugian murokab (kerugian dobel-dobel). Padahal dalam konteks kebajikan Allah justru telah menegaskan, bersegeralah kamu menuju ampunan dari Tuhanmu.
Sekali lagi Islam mengajarkan untuk tak menunda pekerjaan. Allah menandaskan, "faidzaa telah fansob, wa ilaa robbika farghob, jika kau telah menyelesaikan satu pekerjaan, maka beralihkan pada pekerjaan lain, dan hanya kepada Tuhanmu engkau mohon ampun." Menunda, untuk berbuat kebajikan bukan saja rugi dalam perspektif waktu, melainkan rugi pula dalam hal keimanan. Apa yang dialami 'Asya' dapat disebut sebagai kerugian murokab (kerugian dobel-dobel). Padahal dalam konteks kebajikan Allah justru telah menegaskan, bersegeralah kamu menuju ampunan dari Tuhanmu.
No comments:
Post a Comment