Friday, February 10, 2017

Kisah Abu Hanifah Yang Menginspirasi

Kisah Abu Hanifah Yang Menginspirasi ~ Abu Hanifah adalah seorang ulama besar yang namanya masih dikenang hingga kini. Dalam sejarah (Islam), dia telah menorehkan episode-episode kehidupan yang bisa diteladani. Dia ahli ibadah dan ahli fiqih. Kecemerlangan pemikiran Abu Hanifah di bidang fiqih menobatkan dia sebagai salah satu imam dari empat mazhab besar dalam sejarah Islam.

Kisah-Abu-Hanifah-Yang-Menginspirasi

Semua itu tak membuat dia jumawa. Padahal saat masih kecil, dia sudah membuat banyak orang berdecak kagum. Suatu hari Irak kedatangan utusan dari Kaisar Romawi. Utusan itu dikenal sebagai ilmuwan yang memiliki keahlian debat cukup brilian. Setelah mendapat izin dari khalifah, utusan itu menantang debat ulama-ulama Irak.

Utusan itu menaiki mimbar, kemudian berkata lantang, “Siapakah di antara kalian yang bisa menjawab pertanyaanku?”

Sebelum hari itu, utusan kaisar tersebut memang telah mengalahkan beberapa ulama Irak. Tapi diluar dugaan, tiba-tiba ada anak kecil yang mengacungkan jari, kemudian berdiri, “Katakan apa pertanyaanmu, nanti aku akan menjawabnya.”

Semua orang terhenyak kaget, dan bertanya-tanya siapa sebenarnya anak kecil itu. “Siapa engkau wahai anak kecil? Tanya  utusan kaisar tersebut. Banyak orang yang jauh lebih tua dengan sorban besar telah kukalahkan. Bagaimana kau yang masih kecil akan bisa mengalahkanku?

Anak kecil itu menjawab bahwa ilmu dan kemuliaan itu hanya milik Allah.

Utusan itu seperti tidak memiliki pilihan lain, akhirnya dia pun mengajukan pertanyaan “Apakah Allah itu ada?”

“Ya, Allah ada.” “Lalu, dimana Dia berada?” tanya sang utusan. “Allah tidak bertempat,” jawab anak kecil itu tanpa ragu.

“Bagaimana bisa sesuatu yang tidak bertempat bisa kau katakan ada?” Jawaban tentang pertanyaan itu ada pada tubuhmu, “ jawab anak kecil itu. Kini coba katakan di mana letak ruhmu?

Utusan itu kebingungan menjawab, tapi belum sempat utusan itu menemukan jawaban, anak kecil itu meminta seseorang menghidangkan segelas susu. Lalu anak kecil itu kembali bertanya, “Apakah di dalam susu ini terdapat lemak?”

“Ya”, jawab sang utusan.

“Lalu, dimana letak lemak tersebut?”

Sang utusan tak bisa menjawab, dan merasa kalah. Lalu dia mengajukan pertanyaan lain. “Apa yang ada sebelum Allah ada dan apa yang ada setelah Allah?”

“Tidak ada yang sebelum Allah dan tidak ada yang setelah-Nya,” jawab anak kecil itu.

“Bagaimana menjelaskan sesuatu yang ada tapi tidak ada sebelum dan sesudahnya?”

“Jawaban untuk pertanyaanmu ini juga ada dalam tubuhmu.”

“Apa itu, wahai anak kecil?”

“Apa yang ada sebelum jempolmu dan apa yang ada setelah jari kelingkingmu?”

Ilmuwan itu berkata, “Tidak ada apa-apa sebelum jempolku dan tidak ada apa-apa pula setelah kelingkingku.”

Begitu juga Allah tidak ada apa-apa sebelum-Nya dan tidak ada apa-apa setelah-Nya.”

Utusan itu tak bisa berkutik lagi. “Sekarang satu lagi pertanyaanku. “Apa yang sedang dilakukan oleh Allah sekarang ini?”

Sebelum anak kecil itu menjawab dia meminta kesempatan untuk menjawab diatas mimbar. Utusan itu pun turun, dan anak kecil itu kemudian naik mimbar. “Sekarang ini yang sedang dilakukan Allah adalah menjatuhkan derajat orang sesat sepertimu dari atas ke bawah, dan meninggikan derajat orang-orang yang berada dalam kebenaran seperti  aku dari bawah ke atas.” 

Siapa anak kecil itu? Dia tak lain adalah An-Nu’man bin Zauthi At-Taiin Al-Kufi yang di kemudian hari dikenal dengan nama Abu Hanifah (padahal usianya saat itu baru 7 tahun). Abu Hanifah lahir pada tahun 80 Hijiriyah di Kufah, salah satu wilayah di Irak. Dia anak dari seorang kepala suku di Kufah.

Selain dikenal sebagai ahli Fiqih, Abu Hanifah jugga dikenal sebagai seorang ahli ibadah. Hampir semua orang yang pernah dekat dengan Abu Hanifah punya kesaksian, Abu Hanifah biasa memiliki wudhu shalat Isya dan bertahan hingga waktu Shubuh. Sepanjang waktu antara Isya dan Shubuh, dia menunaikan shalat  dan munajat. Ia tidur sebentar antara  Zuhur dan Ashar. Bahkan, hal itu dilakukan Abu Hanifah selama kurang lebih 40 tahun.

Wajar jika setiap malam Abu hanifah mendengar keluhan dari salah satu  tetangganya, seorang pemuda yang suka mabuk. Saat Abu hanifah mau menunaikan shalat malam, saat itu pula. Abu Hanifah mendengar pemuda mabuk itu sambil melantunkan syait: “Mereka menyia-nyiakanku!  Dan semua orang yang disia-siakan sepertiku! O.....siapakah yang telah menyia-nyiakan!. Hari yang tak  menyenangkan !! dan hari terkuncinya lisan.

Setiap malam, Abu Hanifah mendengar keluh kesah pemuda mabuk itu. Hingga suatu hari, malam terasa hening. Tak ada lagi ocehan pemuda itu. Abu Hanifah kemudian mendatangi rumah pemuda itu, dan mendapatkan kabar bahwa pemuda itu telah ditangkap oleh pihak keamanan.

Esok pagi harinya, Abu Hanifah mendatangi kediaman Gubernur, dan meminta pemuda itu dilepaskan. Setelah pemuda itu dilepaskan, Abu Hanifah berujar, “Wahai pemuda, apakah kami menyia-nyiakanmu?”

“Tidak Kini aku tahu bahwa engkau telah menjaga dan memperhatikan kami. Semoga Allah menjagamu sebagaimana engkau telah memuliakan tetanggamu.” Akhirnya, pemuda itu pun bertaubat.

Sekalipun Abu Hanifah adalah seorang ulama besar, dia tidak lantas berpangku tangan. Dia tetap bekerja, berdagang dan bahkan bergaul dengan siapa saja dari berbagai kalangan. Bahkan, dia dikenal ringan tangan membantu orang.

Suatu hari, Abu Hanifah memberi hadiah sehelai pakaian kepada salah seorang  teman. Tapi karena baju itu ada sedikit cacat, dia berpesan untuk menyampaikan kecacatan baju itu jika satu hari akan dijual. Sang teman rupanya lagi punya kebutuhan, dan baju itu pun di jual. Sayang dia lupa memberitahukan soal kecatatan baju tersebut.

“Engkau kenal dengan orang yang membeli baju itu ?” tanya sang Imam.

“Aku tidak kenal, bahkan lupa dengan ciri-ciri orang yang membeli baju itu.”

Akhirnya untuk menebus kehati-hatian itu, sang imam bersedekah senilai harga baju tersebut.

Dalam ilmu fiqih. Abu Hanifah adalah salah satu ulama besar yang tak diragukan lagi. Tetapi ketika sang ibu meminta Abu Hanifah untuk menanyakan sesuatu masalah, Imam Abu Hanifah pun tidak membantah.

“Aku telah menyaksikan darah setelah hari-hari suci, hingga aku tak tahu apa aku  harus meninggalkan shalat atau tidak,” kata Ibu Abu Hanifah. “Coba pergilah ke Abu Abdurrahman Umar bin Dzurr, dan tanyalah masalah ini kepadanya!.”

Abu Hanifah yang sebenarnya tahu dan bahkan mampu menjawab masalah itu pun tak membantah. Dia menuruti perintah sang ibu, mendatangi rumah Umar bin Dzurr dan bertanya seperti yang diinginkan sang ibu.

Umar bin Dzurr hanya tertawa setelah mendengar cerita Abu Hanifah, “Engkau  bertanya mengenai persoalan, sedangkan kami mengambil ilmu darimu.”

“Sesungguhnya ibuku memerintahkanku, beliau memiliki hak atasku,” jawab Imam Abu Hanifah dengan santun.

“Wahai Abu Hanifah, apa yang telah engkau sampaikan mengenai masalah itu?” tanya Umar bin Dzurr.

“Aku berkata demikian, demikian.” Jawab Imam Abu Hanifah.

“Pergilah dan katakanlah kepada ibumu demikian, demikian.” Jawab Umar bin Dzurr.

Abu Hanifah pulang, dan menjelaskan penuh adab kepada sang ibu,” Abu Abdirrahman Umar bin Dzurr menerangkan kepada ibu demikian, demikian.”

Abu Hanifah sebenarnya pantas menerima tawaran untuk menjadi hakim. Sebab, dia mumpuni di bidang fiqih, dan bijaksana. Tetapi , Abu hanifah tergolong ulama yang tidak haus jabatan. Suatu ketika, Abu hanifah ditawari jabatan hakim agung. Tapi dia menolak.

Penolakkan itu, rupanya membuat sang khalifah marah. Abu Hanifah meninggal pada 150 H saat dia masih dalam penjara. Abu Hanifah meninggal pada usia 70 tahun.

No comments:

Post a Comment